Si Anak Sulung

keithefron
2 min readJan 17, 2024

--

Bagaimana jika kamu ditakdirkan lahir di semesta lain, sedang dirimu yang semestinya berpijak di bumi tiba-tiba lenyap? Mungkin aku akan menjadi bagian dari bintang-bintang, atau makhluk selestial yang merupakan potret biru langit terpantul di permukaan samudra. Eksistensi si anak sulung di muka bumi mungkin sudah terlelap dan begitu dengan ingatan terhadapku dalam kepala orang-orang ikut memudar tanpa bekas.

Andai saja begitu.

Tapi aku terlahir kembali dengan arti nama bintang. Mungkin sebagai penanda jejak di kehidupan sebelumnya, pikirku begitu, sebab jika melihat objek-objek di langit, naluriku merasa seperti ada ikatan tak kasat mata yang membuat mataku betah berlama-lama melihatnya. Mengamati tiap sinar kecil yang terhubung membentuk sebuah konstelasi.

Dia pernah bilang, “Kamu harus belajar untuk menikmati hidup menjadi manusia.” Namun, tentu saja aku tidak mendengar, sebab dia hanyalah suara kecil di belakang kepalaku. Bahkan bintang saja perlu waktu jutaan tahun untuk mengirimkan pendarnya ke langit bumi. Maka terkadang aku mengira bahwa suara itu berasal dari masa lalu, atau objek yang aku tempati di kehidupan sebelumnya. Aku tak pernah tahu.

Lantas suara berisi petuahlah yang kemudian mengisi kepalaku. Entah itu berasal dari pria bergelar ayah, wanita yang melahirkanku, ibu-bapak guru, atau orang asing di jalanan yang melihatku pulang mengenakan seragam warna bendera Indonesia.

Katanya, aku harus belajar dengan giat agar sukses.

Namun, mau segiat dan serajin apa aku berusaha, kemampuanku seolah terhenti di posisi kedua. Dari berbagai jenjang pendidikan yang ditempuh, tak pernah sekali pun aku menempati urutan pertama. Seolah jaraknya setinggi bintang. Pikirnya, mungkin suatu hari aku akan kelelahan menggapai dan pada akhirnya aku menyerah. Namun itu justru meninggikan rasa raguku atas kemampuan yang kumiliki.

Lalu lahirlah satu kata bernama kesepian yang bersemayam dan mulai melanda pikiran ketika selangkah menuju dewasa. Lulus sekolah menengah atas, renggangnya pertemuan antara kawan-kawan, serta pukulan dari realitas yang senantiasa hadir hingga menjadi teman yang abadi.

Karena aku, anak pertama, pada siapa aku mengadu jika pilu? Pada siapa aku bercerita bahwa aku tak mampu? Sedang aku menjadi tumpuan adik-adikku, yang suatu saat nanti mengganti peran ayah-ibu. Padahal keinginanku hanya satu; memeluk orang tuaku.

Ayah, Ibu, si anak sulung ini sedang hilang arah.

Nazma A. Shadira, 17 Jan 2024

--

--

No responses yet